Easter Dress

Selasa, 18 Maret 2014

cerpen :))

cerpen ini pernah saya ikutkan lomba tapi belum beruntung untuk menjadi yang terbaik. silahkan baca :)



CINTA DI TAPAL BATAS
oleh : Dewi Permata
Bicara tentang Rio memang selalu merubah suasana, tak terkecuali suasana hati yang selalu terasa berbeda. Entah ini apa?. Aku masih meraba – raba apa benar ini yang dinamakan cinta?. Begitu jauh aku menelisik otakku hingga bagian yang paling dalam, namun aku tidak menemukan jawabnya, masih tidak mengerti maksud semua ini. Aku memang lemah jika dalam urusan percintaan. Rio adalah laki – laki luar biasa yang banyak memberi pelajaran kepadaku tentang cinta. Meski hingga saat ini aku belum menemui makna cinta yang sufi itu.
***
            “ Aku mau makan…. “ Ucap Rio yang belum selesai mengutarakan maksudnya.
            “ Nasi goreng ayam nggak pake sayur  sama jus jeruk “ Selaku dengan wajah berbinar.
            Dengan penuh keheranan Rio menyambung pernyataanku. “ Hah iya, kamu kok tau aku mau pesen apa “.
            “ Ya dong, apa sih yang aku nggak tau tentang kamu “ Aku mulai menggodanya dengan candaan yang semakin menghidupkan suasana.
            “ Ini yang bikin aku sayang sama kamu “.   Sambung Rio sambil tersenyum kepadaku dan langsung pergi untuk memesan makanan untuk kita berdua.
            Aku hanya tersenyum, dan terus mengendalikan setiap rasa yang hinggap di ruang – ruang hatiku.
            Sambil makan Rio mengajakku berdiskusi mengenai tugas resume biologi yang didapat dari sekolah.
            “ Za, lihatin resumeku dong, menurutmu ini ada yang perlu ditambahin nggak?. Ucap Rio sambil menyodorkan sebuah buku tulis miliknya padaku.
            Aku mulai membuka lembar demi lembar buku milik Rio sambil sesekali meminum jus alpukat yang ada di hadapanku. Tiba – tiba mataku tajam menatap pada  secarik kertas yang terselip dalam buku Rio. Tanpa seizin Rio, mataku terus berjalan mengikuti alur tulisan yang ada dalam kertas itu.
            Aku melihat Rio sedang asik dengan makanannya, namun aku mencoba memberanikan diri menanyakan tulisan indah dalam bentuk puisi itu pada Rio.
            “ Rio…” Suaraku pelan membuat Rio sejenak melupakan makanannya.
            “ Kenapa za, resumeku ada yang kurang ya? ”.
            “ Hemm enggak kok, tapi aku mau tanya ini “. Aku menyodorkan secarik kertas berisi puisi cinta yang aku temukan. Perasaanku semakin bercampur aduk dan tak tau arah.
Dengan begitu gugup, Rio menjawab pertanyaanku. “ I.. iya itu puisi aku yang buat ”. Rio berusaha menutupi kegugupannya dengan tersenyum.
“ Kamu jawabnya kok gugup gitu?”. Tanyaku yang heran melihat reaksi Rio.
“ E… enggak, nggak apa – apa kok”. Jawab Rio yang semakin tak bisa menghilangkan gugupnya.
“ Sebenernya puisi ini mau aku kasih ke kamu, tapi kamunya udah nemu duluan”. Tambahnya dengan senyum lebar dan mulai bisa menghilangkan kegugupannya.
Aku hanya tersenyum mendengar jawaban Rio. Entah harus aku apakan rasa yang semakin merongrong batinku ini.
***
            Khanza, maaf ya aku nggak bisa anter kamu ke tempat lukis. Aku ada kerja kelompok sosiologi di rumah Evan .
            Sms Rio menghiasi ponselku sore itu. Aku memang tengah menunggunya yang berjanji untuk mengantarku ke sanggar lukis.
            Yaudah nggakpapa aku bisa minta jemput temenku kok.
            Jawabku dengan sedikit kecewa.
***
            “ Khanza, kamu masih inget nggak, seminggu yang lalu kan sapu tangan aku hilang “. Ungkap Rio sambil menatapku yang berdiri disampingnya.
            Aku hanya tersenyum dan mengangguk membalas tatapan Rio sambil menikmati desahan angin yang mengalun indah menerpaku di koridor sekolah lantai dua depan kelasku.
             Kemarin ada yang naruh sapu tangan di tasku, disitu ada tulisannya kalau itu buat aku”. Lanjutnya lagi dengan penuh keheranan.
            “ Oh iya? Siapa yang ngasih?”
            “ Aku juga nggak tau, tapi sebelum aku nemuin itu, aku keluar sama temenku dan aku juga sempet cerita sama dia kalau sapu tanganku hilang”.
            “ Hmmmm…”. Mataku mulai menerawang seolah menatap isi otakku.
            “ Mungkin dia kali yang ngasih gara – gara kasihan lihat aku bolak – balik  ngelap mulut pakai tangan soalnya kebetulan kemarin nggak ada tissue juga”. Rio mulai mengeluarkan buah dari perenungan tentang keheranannya.
            “ Iya bisa jadi sih “. Jawabku sambil menata senyum di bibirku.
***
Dua tahun telah aku lewati di masa SMA yang begitu banyak merubah hidupku ini, terlalu banyak kenangan indah disini termasuk setiap waktu yang telah aku habiskan bersama Rio. Namun, ada juga hal yang bikin aku…..
“Khanza, aku bawa buku kimiamu ya buat bikin daftar pustaka makalah kita“.  
   Suara gadis itu sudah akrab ditelingaku. Aku menoleh kearahnya dan menghentikan aktifitasku memasukkan buku ke dalam tasku.
“Iya bawa aja nggakpapa”. Jawabku sambil tersenyum.
Tapi…. tiba – tiba bibirku menjatuhkan senyuman yang menyeringai dibibirku ketika aku melihat sesosok laki – laki yang sudah tak asing lagi dalam kehidupanku. Rio, ya dia berjalan menuju mejaku, namun aku tau dia bukan datang untukku. Matanya tertuju pada gadis yang berdiri di hadapanku, tangannya menggandeng tangan gadis itu yang kini mengisi ruang dihatinya dan  segera mengajaknya pulang.
“Aku pulang dulu ya za”. Pamit Rena kepadaku.
Aku hanya menganggukkan kepalaku sambil melontarkan senyum yang kian aku paksakan. Wajahku mulai terasa basah, bukan karena peluh tapi karena embun di mataku mulai berjatuhan mamandang hal yang merajam hatiku. Apa yang aku lihat saat ini seperti belati yang siap menyayat – nyayat setiap detakan jantungku.
Aku dapat membaca wajah Rio yang penuh dengan kebimbangan, Ia pergi bersama Rena tanpa sepatah katapun yang diucapkan padaku. Namun, sesekali aku melihat dia menoleh ke arahku sambil terus berjalan bersama Rena meninggalkan ruang kelasku.
***
Rio, dia memang selalu begitu. Ketika tidak ada Rena, sikapnya padaku selalu sama ketika sebelum ia pacaran dengan Rena. Itu yang membuat aku sulit melepaskan dia. Lebih sialnya lagi, kelas 3 ini aku harus satu kelas dengan Rena dan satu kelompok dalam tugas kimia, dia tak ubahnya orang ketiga diantara kami, tetapi hatiku selalu tak pernah mampu menyalahkannya karena dia tidak tau yang sedang terjadi antara aku dan Rio saat itu.
Ah, sudahlah aku harus melupakannya. Gerutuku dalam hati.
Tepat ulang tahun Rio yang ke – 18, aku ingin mengutarakan perasaanku selama ini sebelum aku benar – benar melupakannya. Kado sederhana aku berikan padanya bersama dengan sebuah tulisan yang berisi perasaanku selama ini.
Dear Rio,
Aku tak ingin mengganggumu, aku tau kamu sudah bahagia dengan pilihan hatimu. Aku hanya ingin mencurahkan secercah perasaan yang masih tersimpan untukmu. Memang menyakitkan ketika kamu tak menepati janjimu untuk menyatukan perasaan kita. Namun, tak apa lah ini juga salahku. Aku selalu menutupi perasaanku, aku tak pernah jujur sama kamu.
Dulu, aku pernah menemukan puisi yang terselip di bukumu yang kemudian kamu berikan padaku. Aku tahu sebenarnya itu bukan buat aku kan? Aku melihat inisial R dibalik puisi itu sementara inisial namaku adalah K. Lalu, kamu pernah membatalkan janji mengantarku ke sanggar lukis, kamu bilang kamu mau kerja kelompok di rumah Evan, padahal sebelum ke sanggar lukis aku sempat ke minimarket dan aku bertemu Evan disana, dia bilang nggak kerja kelompok sama kamu, entah sebenarnya kamu pergi kemana?. Sampai saat itu aku tetap diam. Yang ketiga, sapu tangan yang kamu temukan dalam tasmu sebenarnya dari aku, tapi kamu mengira itu dari teman kamu dan aku tau teman yang kamu maksud adalah Rena kan?. Tapi aku terlalu bodoh dengan membiarkanmu terus seperti itu tanpa memberi kejelasan pada hubungan kita. Hingga pada akhirnya kamu memilih Rena untuk menjadi pendampingmu.
Semua sudah terlanjur terjadi, aku harus melupakanmu dan merelakanmu bahagia bersama Rena. Terimakasih untuk kebahagiaan yang pernah kamu ciptakan untukku
     Ttd
Khanza
***
“Khanza aku sudah baca tulisanmu”. Sejenak Rio terdiam menghentikan ucapannya.
“Maafkan aku Za semua sudah terlanjur terjadi, apa yang harus aku lakukan?. Aku menyayangimu tapi bagaimana dengan Rena?”. Rio mulai melanjutkan kata – katanya
Aku melihat mata Rio mulai menitihkan airnya.
            “Sudahlah Rio aku nggakpapa”. Aku mencoba terlihat tegar.
            Rio mengatupkan bibirnya yang mulai kehabisan kata – kata lalu meraih tubuhku dan memelukku. Aku merasakan hangatnya air mata Rio yang membasahi pundakku, akupun mulai merasakan magnet air matanya yang mulai menular padaku. Sesekali aku menghapus air mataku, hingga tak berbekas.
“Kita fokus dengan ujian kita aja ”. Aku melepas pelukannya dan mencoba menjaga senyumku.
***
            Hari ini tepat hari ketiga di tahun ini, namun tetap saja nggak ada bedanya. Bentangan sejauh Surabaya Jogjakarta tak membuat sekeping hati ini berpindah, bahkan guliran angka tahun yang selalu bertambah tidak membuat semuanya berhenti, segala batasan yang ada tak pernah bisa menghilangkan setitikpun rasa cintaku. Sepertinya hati ini tak mempedulikan cibiran dari ribuan bibir yang selalu ingin menghentikan rasaku. Aku tahu mereka benar, namun ketika hati sudah bicara, aku bisa apa?.
            “Aku bisa merasakan apa yang kamu rasakan Za”. Ucap Nana sambil memelukku.
            “Iya Na, aku lega bisa cerita sama kamu, memang setelah ujian dia putus dengan Rena dan mulai dekat lagi sama aku, tapi sejak memasuki masa kuliah dia berangkat ke jogja dan sampai saat ini aku nggak tau lagi kabarnya bagaimana”. Aku mulai melepaskan pelukan Nana.
            “Kamu pasti bisa mendapatkan yang lebih baik dari dia Za”. Hibur Nana.
            Aku menarik panjang nafasku dan pasrah dengan keadaan. Entah bisa atau tidak aku melupakannya hanya waktu yang bisa membuktikan dan cinta yang akan menjawabnya.

           
           
           





Tidak ada komentar:

Posting Komentar