CINTA DI TAPAL BATAS
oleh : Dewi Permata
Bicara
tentang Rio memang selalu merubah suasana, tak terkecuali suasana hati yang
selalu terasa berbeda. Entah ini apa?. Aku masih meraba – raba apa benar ini
yang dinamakan cinta?. Begitu jauh aku menelisik otakku hingga bagian yang
paling dalam, namun aku tidak menemukan jawabnya, masih tidak mengerti maksud
semua ini. Aku memang lemah jika dalam urusan percintaan. Rio adalah laki –
laki luar biasa yang banyak memberi pelajaran kepadaku tentang cinta. Meski
hingga saat ini aku belum menemui makna cinta yang sufi itu.
***
“ Aku mau makan…. “ Ucap Rio yang
belum selesai mengutarakan maksudnya.
“ Nasi goreng ayam nggak pake sayur sama jus jeruk “ Selaku dengan wajah berbinar.
Dengan penuh keheranan Rio
menyambung pernyataanku. “ Hah iya, kamu kok tau aku mau pesen apa “.
“ Ya dong, apa sih yang aku nggak
tau tentang kamu “ Aku mulai menggodanya dengan candaan yang semakin
menghidupkan suasana.
“ Ini yang bikin aku sayang sama
kamu “. Sambung Rio sambil tersenyum kepadaku
dan langsung pergi untuk memesan makanan untuk kita berdua.
Aku hanya tersenyum, dan terus
mengendalikan setiap rasa yang hinggap di ruang – ruang hatiku.
Sambil makan Rio mengajakku
berdiskusi mengenai tugas resume biologi yang didapat dari sekolah.
“ Za, lihatin resumeku dong,
menurutmu ini ada yang perlu ditambahin nggak?. Ucap Rio sambil menyodorkan
sebuah buku tulis miliknya padaku.
Aku mulai membuka lembar demi lembar
buku milik Rio sambil sesekali meminum jus alpukat yang ada di hadapanku. Tiba
– tiba mataku tajam menatap pada secarik
kertas yang terselip dalam buku Rio. Tanpa seizin Rio, mataku terus berjalan mengikuti
alur tulisan yang ada dalam kertas itu.
Aku melihat Rio sedang asik dengan
makanannya, namun aku mencoba memberanikan diri menanyakan tulisan indah dalam
bentuk puisi itu pada Rio.
“ Rio…” Suaraku pelan membuat Rio
sejenak melupakan makanannya.
“ Kenapa za, resumeku ada yang
kurang ya? ”.
“ Hemm enggak kok, tapi aku mau
tanya ini “. Aku menyodorkan secarik kertas berisi puisi cinta yang aku
temukan. Perasaanku semakin bercampur aduk dan tak tau arah.
Dengan
begitu gugup, Rio menjawab pertanyaanku. “ I.. iya itu puisi aku yang buat ”.
Rio berusaha menutupi kegugupannya dengan tersenyum.
“
Kamu jawabnya kok gugup gitu?”. Tanyaku yang heran melihat reaksi Rio.
“
E… enggak, nggak apa – apa kok”. Jawab Rio yang semakin tak bisa menghilangkan
gugupnya.
“
Sebenernya puisi ini mau aku kasih ke kamu, tapi kamunya udah nemu duluan”.
Tambahnya dengan senyum lebar dan mulai bisa menghilangkan kegugupannya.
Aku
hanya tersenyum mendengar jawaban Rio. Entah harus aku apakan rasa yang semakin
merongrong batinku ini.
***
Khanza,
maaf ya aku nggak bisa anter kamu ke tempat lukis. Aku ada kerja kelompok
sosiologi di rumah Evan .
Sms Rio menghiasi ponselku sore itu.
Aku memang tengah menunggunya yang berjanji untuk mengantarku ke sanggar lukis.
Yaudah
nggakpapa aku bisa minta jemput temenku kok.
Jawabku dengan sedikit kecewa.
***
“ Khanza, kamu masih inget nggak,
seminggu yang lalu kan sapu tangan aku hilang “. Ungkap Rio sambil menatapku
yang berdiri disampingnya.
Aku hanya tersenyum dan mengangguk membalas
tatapan Rio sambil menikmati desahan angin yang mengalun indah menerpaku di
koridor sekolah lantai dua depan kelasku.
“ Kemarin ada yang naruh sapu tangan di tasku,
disitu ada tulisannya kalau itu buat aku”. Lanjutnya lagi dengan penuh
keheranan.
“ Oh iya? Siapa yang ngasih?”
“ Aku juga nggak tau, tapi sebelum
aku nemuin itu, aku keluar sama temenku dan aku juga sempet cerita sama dia
kalau sapu tanganku hilang”.
“ Hmmmm…”. Mataku mulai menerawang
seolah menatap isi otakku.
“ Mungkin dia kali yang ngasih gara
– gara kasihan lihat aku bolak – balik
ngelap mulut pakai tangan soalnya kebetulan kemarin nggak ada tissue
juga”. Rio mulai mengeluarkan buah dari perenungan tentang keheranannya.
“ Iya bisa jadi sih “. Jawabku
sambil menata senyum di bibirku.
***
Dua
tahun telah aku lewati di masa SMA yang begitu banyak merubah hidupku ini, terlalu
banyak kenangan indah disini termasuk setiap waktu yang telah aku habiskan
bersama Rio. Namun, ada juga hal yang bikin aku…..
“Khanza,
aku bawa buku kimiamu ya buat bikin daftar pustaka makalah kita“.
Suara
gadis itu sudah akrab ditelingaku. Aku menoleh kearahnya dan menghentikan
aktifitasku memasukkan buku ke dalam tasku.
“Iya
bawa aja nggakpapa”. Jawabku sambil tersenyum.
Tapi….
tiba – tiba bibirku menjatuhkan senyuman yang menyeringai dibibirku ketika aku
melihat sesosok laki – laki yang sudah tak asing lagi dalam kehidupanku. Rio,
ya dia berjalan menuju mejaku, namun aku tau dia bukan datang untukku. Matanya
tertuju pada gadis yang berdiri di hadapanku, tangannya menggandeng tangan
gadis itu yang kini mengisi ruang dihatinya dan segera mengajaknya pulang.
“Aku
pulang dulu ya za”. Pamit Rena kepadaku.
Aku
hanya menganggukkan kepalaku sambil melontarkan senyum yang kian aku paksakan. Wajahku
mulai terasa basah, bukan karena peluh tapi karena embun di mataku mulai berjatuhan
mamandang hal yang merajam hatiku. Apa yang aku lihat saat ini seperti belati
yang siap menyayat – nyayat setiap detakan jantungku.
Aku
dapat membaca wajah Rio yang penuh dengan kebimbangan, Ia pergi bersama Rena
tanpa sepatah katapun yang diucapkan padaku. Namun, sesekali aku melihat dia
menoleh ke arahku sambil terus berjalan bersama Rena meninggalkan ruang
kelasku.
***
Rio,
dia memang selalu begitu. Ketika tidak ada Rena, sikapnya padaku selalu sama
ketika sebelum ia pacaran dengan Rena. Itu yang membuat aku sulit melepaskan
dia. Lebih sialnya lagi, kelas 3 ini aku harus satu kelas dengan Rena dan satu
kelompok dalam tugas kimia, dia tak ubahnya orang ketiga diantara kami, tetapi
hatiku selalu tak pernah mampu menyalahkannya karena dia tidak tau yang sedang
terjadi antara aku dan Rio saat itu.
Ah, sudahlah aku harus melupakannya.
Gerutuku dalam hati.
Tepat
ulang tahun Rio yang ke – 18, aku ingin mengutarakan perasaanku selama ini
sebelum aku benar – benar melupakannya. Kado sederhana aku berikan padanya
bersama dengan sebuah tulisan yang berisi perasaanku selama ini.
Dear Rio,
Aku tak ingin mengganggumu, aku tau
kamu sudah bahagia dengan pilihan hatimu. Aku hanya ingin mencurahkan secercah
perasaan yang masih tersimpan untukmu. Memang menyakitkan ketika kamu tak
menepati janjimu untuk menyatukan perasaan kita. Namun, tak apa lah ini juga
salahku. Aku selalu menutupi perasaanku, aku tak pernah jujur sama kamu.
Dulu, aku pernah menemukan puisi
yang terselip di bukumu yang kemudian kamu berikan padaku. Aku tahu sebenarnya
itu bukan buat aku kan? Aku melihat inisial R dibalik puisi itu sementara
inisial namaku adalah K. Lalu, kamu pernah membatalkan janji mengantarku ke
sanggar lukis, kamu bilang kamu mau kerja kelompok di rumah Evan, padahal
sebelum ke sanggar lukis aku sempat ke minimarket dan aku bertemu Evan disana,
dia bilang nggak kerja kelompok sama kamu, entah sebenarnya kamu pergi kemana?.
Sampai saat itu aku tetap diam. Yang ketiga, sapu tangan yang kamu temukan dalam
tasmu sebenarnya dari aku, tapi kamu mengira itu dari teman kamu dan aku tau
teman yang kamu maksud adalah Rena kan?. Tapi aku terlalu bodoh dengan
membiarkanmu terus seperti itu tanpa memberi kejelasan pada hubungan kita.
Hingga pada akhirnya kamu memilih Rena untuk menjadi pendampingmu.
Semua sudah terlanjur terjadi, aku
harus melupakanmu dan merelakanmu bahagia bersama Rena. Terimakasih untuk
kebahagiaan yang pernah kamu ciptakan untukku
Ttd
Khanza
***
“Khanza
aku sudah baca tulisanmu”. Sejenak Rio terdiam menghentikan ucapannya.
“Maafkan
aku Za semua sudah terlanjur terjadi, apa yang harus aku lakukan?. Aku
menyayangimu tapi bagaimana dengan Rena?”. Rio mulai melanjutkan kata – katanya
Aku
melihat mata Rio mulai menitihkan airnya.
“Sudahlah Rio aku nggakpapa”. Aku
mencoba terlihat tegar.
Rio mengatupkan bibirnya yang mulai
kehabisan kata – kata lalu meraih tubuhku dan memelukku. Aku merasakan
hangatnya air mata Rio yang membasahi pundakku, akupun mulai merasakan magnet
air matanya yang mulai menular padaku. Sesekali aku menghapus air mataku,
hingga tak berbekas.
“Kita
fokus dengan ujian kita aja ”. Aku melepas pelukannya dan mencoba menjaga
senyumku.
***
Hari ini tepat hari ketiga di tahun
ini, namun tetap saja nggak ada bedanya. Bentangan sejauh Surabaya Jogjakarta
tak membuat sekeping hati ini berpindah, bahkan guliran angka tahun yang selalu
bertambah tidak membuat semuanya berhenti, segala batasan yang ada tak pernah
bisa menghilangkan setitikpun rasa cintaku. Sepertinya hati ini tak
mempedulikan cibiran dari ribuan bibir yang selalu ingin menghentikan rasaku.
Aku tahu mereka benar, namun ketika hati sudah bicara, aku bisa apa?.
“Aku bisa merasakan apa yang kamu
rasakan Za”. Ucap Nana sambil memelukku.
“Iya Na, aku lega bisa cerita sama
kamu, memang setelah ujian dia putus dengan Rena dan mulai dekat lagi sama aku,
tapi sejak memasuki masa kuliah dia berangkat ke jogja dan sampai saat ini aku
nggak tau lagi kabarnya bagaimana”. Aku mulai melepaskan pelukan Nana.
“Kamu pasti bisa mendapatkan yang
lebih baik dari dia Za”. Hibur Nana.
Aku menarik panjang nafasku dan
pasrah dengan keadaan. Entah bisa atau tidak aku melupakannya hanya waktu yang
bisa membuktikan dan cinta yang akan menjawabnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar