Easter Dress

Jumat, 02 Januari 2015

Kenangan Ini Milikku


Seminggu ini aku berada dalam kebosanan menikmati libur Natal dan Tahun Baruku yang aku isi dengan belajar untuk mempersiapkan diri menghadapi ujianku yang sudah didepan mata. Hari ini seharusnya aku ada praktikum yang belum terlaksana sebelum libur menjelang. Tapi, seperti biasa lagi – lagi dosen membatalkan praktikumku.
Siang itu, cuaca di kotaku cukup menyejukkan, biasanya sore hari akan diguyur hujan. Hujan menjadi sangat istimewa karena cuaca di kota ini yang biasanya begitu terik. Karena sudah terlanjur ganti baju aku memutuskan untuk jalan – jalan. Aku sudah lama tidak jalan – jalan di kota ini karena sibuk kuliah di Luar Kota. Aku memutuskan untuk jalan – jalan di salah satu pusat perbelanjaan di kota lumpur ini.
Libur Natal dan Tahun Baru ini membuat berbagai toko berlomba – lomba memberi diskon besar – besaran apalagi di mall sebesar ini. Baru saja masuk mataku langsung dimanjakan oleh berbagai merk baju dan sepatu yang bertuliskan diskon mulai dari sepuluh persen hingga lima puluh plus empat puluh persen ditambah gratis voucher lima puluh ribu disetiap pembelian. Bagai burung yang baru keluar dari sangkarnya, ini benar – benar cuci mata bagiku. Belanja memang bagai surga dunia untuk perempuan apalagi dimanjakan dengan diskon besar – besaran.
Sayangnya, aku belum tertarik untuk membeli salah satu barang di tempat itu. Aku melanjutkan langkah kaki memutari sudut demi sudut pusat perbelanjaan ini. Hampir seluruh tempat yang menarik hatiku sudah ku kunjungi. Entah mengapa pikiran dan langkah kakiku seiring sejalan membawaku singgah ke sebuah toko buku didalam pusat perbelanjaan ini. Aku tak tau apa yang menjadi daya tarik dari toko buku itu, padahal aku sedang tidak ingin membeli buku apapun atau pernak – pernik toko buku lainnya.
Mataku melihat sana – sini mencoba mencari sesuatu yang menarik hatiku. Tiba – tiba aku teringat bahwa diakhir minggu ini ada ulang tahun salah satu Unit kegiatan Mahasiswa yang aku ikuti di kampus, dalam acara itu semua wajib membawa sebuah kado.
“Kenapa tidak sekalian aku membeli kadonya, mumpung ada disini”. Gumamku dalam hati. “Kalau beli disini kan barang – barangnya juga bermanfaat”. Sambungku.
Aku mulai memilih – milih kado apa yang akan aku beli. Kubuka satu persatu barang – barang yang berjajar di etalase toko. Satu persatu aku jelajahi barang – barang dengan berbagai motif yang menarik hatiku. Ketika asik memilih tiba – tiba dari jauh ada yang ganjil dimataku. Ada sesuatu yang begitu familiar dipikiranku. Langkah kakiku membawa tubuh semampaiku mendekati benda itu. Benda itu adalah sebuah kotak kado. Tentu tak ada yang menarik mendengar kata “kotak kado” tetapi bukan itu yang menarik langkahku menghampirinya. Ada yang lebih menarik dari sekedar kotak kado, namun motif dari kotak kado itulah yang menarik bagiku.
“ Motif ini…”.
 Kotak kado itu bermotif hati dan bertuliskan “love” berwarna coklat yang bergradasi indah. Motif itulah yang berhasil membuat pikiranku singgah dalam sebuah peristiwa. Ada sebuah peristiwa besar dari motif itu.
Hari ini adalah hari terakhirku bersama teman – temanku ditempat ini, tentunya menjadi hari terakhirnya pula. Ada sesuatu yang memang sudah aku persiapkan sebelumnya. Tempat ini memang luar biasa. Menjadi tempat pertemuan kita, tempat yang menyatukan kita dan banyak cerita yang kita lahirkan di tempat ini, tempat inipun yang menjadi saksi setiap lika – liku  perjalanan kita dan nantinya aku akan membuat sebuah keputusan besar bahwa tempat ini menjadi tempat yang memisahkan kita dan menjadi tempat terakhir dari cerita yang selama ini kita torehkan.
“ Aku nggak ulang tahun hari ini”.
Aku terus menyodorkan tas coklat bergambar nada – nada musik yang indah. Terus memberanikan diri meski tanganku sudah mulai gemetar sejak tadi. Memaksanya menerima hadiah itu meski hari ini bukan hari ulang tahunnya.
Dia menerima tas itu dan berusaha membukanya, namun berhasil aku gagalkan karena aku memintanya untuk membukan kado itu di rumah dan membukanya sendiri.
Tanpa sepengetahuanku dia telah membuka kado itu di tempat ini juga. Dia membuka tas berisi sebuah buku bersampul kertas kado bermotif hati itu. Dia membaca bait demi bait dari tulisan yang ada didalam buku itu.
Aku memang sengaja menulisnya, sejarah perjalanan kami selama ini. Ada hal yang ingin aku ungkapkan disana. Ini memang moment yang tepat. Di tempat ini kita dipertemukan dan dipersatukan dan ditempat ini pula kami harus mengakhiri segalanya.
Aku harap dia mengerti maksudku.
“ Lalu, apa yang harus aku lakukan?”.
Ada sebuah penyesalan di raut wajahnya. Terlihat sebuah beban yang begitu berat tergambar dalam dirinya sambil sesekali memandangku seperti ada sesuatu yang ingin ia pastikan dariku.
“Apa aku harus mutusin dia?”. Sambungnya pendek.
Aku melempar senyum pada laki – laki bertubuh tinggi itu.
“Tidak. Aku memberikanmu itu bukan untuk memisahkan kalian dan bukan untuk memintamu kembali padaku”. Jelasku padanya.
“Iya aku sudah membaca semuanya, semua sudah kamu ungkapkan disana”. Dia menganggukkan kepalanya.
Arian nama laki – laki yang berhasil menarik hatiku selama dua tahun ini. Dia mengajakku duduk, bukan karena lelah berdiri tetapi lebih karena mati gaya dalam situasi seperti ini. Selama ini kita memang hampir tidak pernah terjebak dalam suasana kalut dan menegangkan seperti ini. Akupun mengikuti ajaknnya.
“Dita…”. Dia memanggil namaku pelan setelah lama kita saling diam dalam kekakuan bibir kami untuk sekedar mengucapkan sepatah dua patah kata.
“Ya..”. jawabku singkat.
Rasanya pikiran ini juga begitu keras berpikir menyusun kata – kata yang harus diucapkan. Padahal aku sudah menyiapkan semuanya jauh – jauh hari karena aku yakin dia akan mengajakku membicarakan ini dan kami akan terjebak dalam situasi yang sulit ini. Aku sudah menyiapkan jauh – jauh hari tentang bagaimana harus menghadapinya dalam situasi seperti ini, tentang apa saja yang akan kukatakan padanya untuk memperjelas segala maksudku dan akupun sudah mempersiapkan mental untuk menerima segala apapun keputusan yang akan kami ambil meski dalam keputusan terburuk sekalipun. Namun semua hilang saat tubuhku harus berhadapan dengannya. Situasi seperti ini merusak segala persiapan yang telah aku lakukan.
Arian menggenggam telapak tanganku kuat – kuat. Tangannya begitu dingin menjalar ke telapak tanganku.
Aku memandangnya lekat – lekat. Terlihat matanya mulai memerah, ada rintik kecil dibalik kacamata minusnya. Aku menghindarkan diri dari pandangannya karena takut air mataku jatuh melihat matanya yang mulai berkaca – kaca.
“Aku sayang kamu Dita”
Dia memulai pembicaraan kami lagi setelah aku lama diam tak mampu menggerakkan bibirku barang sebentar saja.
“Aku tau”.
Aku berusaha melempar senyum dalam kesakitan batin yang dalam.
“Tapi sekarang sudah bukan saatnya”. Sambungku.
Dia memang selalu begitu, hanya ketika dalam keadaan terdesak seperti ini saja dia mengatakan rasa sayangnya, aku tau dia tak pernah tega melihat aku menangis ataupun terlihat bersedih meski terkadang dia tidak memahami bahwa kebanyakan tangisku disebabkan karena Dia. Aku paham hal ini menimbulkan sebuah pertanyaan. Mengapa rasa cintaku begitu besar kuberikan pada orang yang setia membuatku menangis.
Cinta yang tulus tidak membutuhkan sedikitpun alasan untuk kuberikan. Semua mengalir begitu saja tak ada yang memaksakan. Tidak memilah status sosial orang tersebut. Cinta tetap saja tentang rasa. Rasa yang tak pernah kita tau dimana dia akan singgah. Yang pasti rasa itu akan singgah didalam hati pilihan Tuhan. Bukankah rasa kasih itu hadirnya karena Tuhan yang menganugerahkan dan Tuhan yang memilihkan. Kita tak pernah tau akan takdir Tuhan yang begitu luar bisa untuk mempertemukan sepasang anak manusia untuk saling jatuh cinta.
Aku rasa dia mulai mengerti dengan maksudku. Aku dan dia bersama janji – janji yang kami utarakan satu sama lain. Aku berusaha memahami cintanya pada Nasya, perempuan yang tak jauh dari kehidupanku bahkan sebenarnya takdir sudah mempertemukan kami sejak kami baru dilahirkan. Nasya adalah tetanggaku ketika kami masih menjadi bayi putih tak mengenal dunia, hanya saja kami tak pernah saling mengenal sebelumnya karena ketika masih bayi aku ikut tinggal bersama dengan nenekku di luar kota dan kemudian pindah ke rumah yang aku tinggali sekarang ini bersama dengan orang tua dan saudara – saudaraku.
 Akupun melihat bagaimana Dia  berusaha memahami rasa cintaku padanya dan bagaimana dia membalas rasa cintaku. Aku tak pernah memaksakan apapun. Apapun tentang hubungan kami. Aku mengikuti alur cerita yang menjadi inginnya. Aku tak ingin ia menyakiti Nasya seperti yang pernah ia lakukan padaku.
“Tapi kita tetep berteman kan Dit?”.
Arian seakan tak ingin kehilanganku sepenuhnya. Aku berusaha menanggapinya dengan positif.
“Iya pasti, tapi semua perlu proses”.
Dia tersenyum mendengar jawabanku.
Aku berusaha mencairkan suasana dengan obrolan ringan seputar cerita – cerita lucu yang pernah kita lalui. Diapun berusaha mengalihkan pembicaraan dengan membuka pembicaraan tentang ujian yang akan menyambut kita tahun depan bersama dengan cita – cita kami setelah lulus dari tempat ini. Kamipun bersalaman tanda damai dalam keadaan sulit ini.
Setiap masa memiliki sejarahnya dan setiap hati memiliki pilihannya.
Seperti sejarahku bersamanya yang slalu ada dalam kenangan dan pilihan hati kami untuk menjalani hidup masing – masing. Singkat saja kesimpulannya. Mungkin kami belum berjodoh.
Aku percaya takdir Tuhan tak pernah keliru. Perpisahan ini adalah jalan terbaik pilihan Tuhan yang ditakdirkan pada kami. Aku dan dia layak mendapatkan pendamping ideal pilihan kami masing – masing. Tentunya yang terbaik untuk kami.
“Ah apa yang aku pikirkan”. Gerutuku sambil mengusap air mata yang berhasil menetes riang diwajahku.
Waktu menyadarkanku bahwa aku sudah terlalu lama ditempat ini bersama apa yang aku pikirkan sejak tadi. Aku harus segera pulang dan kembali menyiapkan diri untuk ujian esok pagi. Akupun mengambil barang yang kupilih untuk kado ulang tahun di Unit Kegiatan Mahasiswa yang harus kubawa akhir minggu ini dan membayarnya di kasir.
Aku mulai melangkahkan kakiku keluar dari toko dan pusat perbelanjaan ini dengan perasaan bercampur – campur. Ada kegetiran dalam diriku mengingat kotak kado yang kutemui tadi. Ada seberkas kenangan darinya. Dulu aku membeli kertas kado itu juga di tempat ini, tempat yang sama dengan apa yang aku jumpai saat ini. Kotak kado itu berhasil menggugah setiap kenangan yang telah terkubur dalam di hidupku.
Sebentar lagi tahun akan berganti begitupula denganmu yang akan mengganti batang usiamu, aku yakin pasti kini kau semakin dewasa, aku yakin kamu semakin menjadi laki – laki yang baik, bukan hanya baik untukmu tetapi juga baik untuk orang disekelilingmu. Aku yakin kamu masih lurus dengan segala cita – citamu yang pernah kita angankan bersama. Namun, tak ada sedikitpun pikiran untuk memberimu sedikit ucapan selamat hanya doa dari jauh yang kutujukan untukmu. Ini adalah hari ketiga ditahun ini untuk yang kedua kalinya kita tak lagi bersama. Aku masih mengingat janjiku yang sedang berusaha aku tepati. Selama ini aku memang sengaja mendelete-mu dari kontak BBMku, menghapus nomor teleponmu dari kontak ponselku, tidak menerima permintaan linemu, menghapus pertemanan di facebook dan twitterku.
Bukan karena benci. Aku tak pernah sedikitpun membenci Arian. Harus dipahami menghilangkan bayangannya sungguh sangat tidak mudah apalagi jika kita masih bertemu meski hanya sekedar di dunia maya. Namun sesuatu yang tidak nyata itu justru membuat semakin tergugahnya kenangan – kenangan masa lalu. Meski tak selalu masa lalu itu buruk, ada sesuatu yang memang harus dipahami bahwa tak semua yang kita pikirkan sejalan dengan kenyataan meski semua telah tersusun dan tergambar dengan rapi, Tuhan selalu memiliki jalannya yang jauh lebih indah.
Kamu memang bukan milikku. Sungguh aku sudah tak mengharapkanmu untuk kembali.  Tapi kenangan ini adalah milikku, yang menjadi cerita dalam hidupku dan berhak untuk kukenang kapanpun dan dimanapun hingga akhir masaku.