Seminggu
ini aku berada dalam kebosanan menikmati libur Natal dan Tahun Baruku yang aku
isi dengan belajar untuk mempersiapkan diri menghadapi ujianku yang sudah
didepan mata. Hari ini seharusnya aku ada praktikum yang belum terlaksana
sebelum libur menjelang. Tapi, seperti biasa lagi – lagi dosen membatalkan
praktikumku.
Siang
itu, cuaca di kotaku cukup menyejukkan, biasanya sore hari akan diguyur hujan. Hujan
menjadi sangat istimewa karena cuaca di kota ini yang biasanya begitu terik.
Karena sudah terlanjur ganti baju aku memutuskan untuk jalan – jalan. Aku sudah
lama tidak jalan – jalan di kota ini karena sibuk kuliah di Luar Kota. Aku
memutuskan untuk jalan – jalan di salah satu pusat perbelanjaan di kota lumpur ini.
Libur
Natal dan Tahun Baru ini membuat berbagai toko berlomba – lomba memberi diskon
besar – besaran apalagi di mall sebesar
ini. Baru saja masuk mataku langsung dimanjakan oleh berbagai merk baju dan sepatu yang bertuliskan
diskon mulai dari sepuluh persen hingga lima puluh plus empat puluh persen ditambah gratis voucher lima puluh ribu disetiap pembelian. Bagai burung yang baru
keluar dari sangkarnya, ini benar – benar cuci mata bagiku. Belanja memang
bagai surga dunia untuk perempuan apalagi dimanjakan dengan diskon besar –
besaran.
Sayangnya,
aku belum tertarik untuk membeli salah satu barang di tempat itu. Aku
melanjutkan langkah kaki memutari sudut demi sudut pusat perbelanjaan ini.
Hampir seluruh tempat yang menarik hatiku sudah ku kunjungi. Entah mengapa
pikiran dan langkah kakiku seiring sejalan membawaku singgah ke sebuah toko
buku didalam pusat perbelanjaan ini. Aku tak tau apa yang menjadi daya tarik
dari toko buku itu, padahal aku sedang tidak ingin membeli buku apapun atau
pernak – pernik toko buku lainnya.
Mataku
melihat sana – sini mencoba mencari sesuatu yang menarik hatiku. Tiba – tiba
aku teringat bahwa diakhir minggu ini ada ulang tahun salah satu Unit kegiatan
Mahasiswa yang aku ikuti di kampus, dalam acara itu semua wajib membawa sebuah
kado.
“Kenapa
tidak sekalian aku membeli kadonya, mumpung ada disini”. Gumamku dalam hati. “Kalau
beli disini kan barang – barangnya juga bermanfaat”. Sambungku.
Aku
mulai memilih – milih kado apa yang akan aku beli. Kubuka satu persatu barang –
barang yang berjajar di etalase toko. Satu persatu aku jelajahi barang – barang
dengan berbagai motif yang menarik hatiku. Ketika asik memilih tiba – tiba dari
jauh ada yang ganjil dimataku. Ada sesuatu yang begitu familiar dipikiranku. Langkah kakiku membawa tubuh semampaiku
mendekati benda itu. Benda itu adalah sebuah kotak kado. Tentu tak ada yang
menarik mendengar kata “kotak kado” tetapi bukan itu yang menarik langkahku
menghampirinya. Ada yang lebih menarik dari sekedar kotak kado, namun motif
dari kotak kado itulah yang menarik bagiku.
“
Motif ini…”.
Kotak kado itu bermotif hati dan bertuliskan
“love” berwarna coklat yang bergradasi indah. Motif itulah yang berhasil
membuat pikiranku singgah dalam sebuah peristiwa. Ada sebuah peristiwa besar
dari motif itu.
Hari
ini adalah hari terakhirku bersama teman – temanku ditempat ini, tentunya
menjadi hari terakhirnya pula. Ada sesuatu yang memang sudah aku persiapkan sebelumnya.
Tempat ini memang luar biasa. Menjadi tempat pertemuan kita, tempat yang
menyatukan kita dan banyak cerita yang kita lahirkan di tempat ini, tempat
inipun yang menjadi saksi setiap lika – liku perjalanan kita dan nantinya aku akan membuat
sebuah keputusan besar bahwa tempat ini menjadi tempat yang memisahkan kita dan
menjadi tempat terakhir dari cerita yang selama ini kita torehkan.
“
Aku nggak ulang tahun hari ini”.
Aku
terus menyodorkan tas coklat bergambar nada – nada musik yang indah. Terus
memberanikan diri meski tanganku sudah mulai gemetar sejak tadi. Memaksanya
menerima hadiah itu meski hari ini bukan hari ulang tahunnya.
Dia
menerima tas itu dan berusaha membukanya, namun berhasil aku gagalkan karena
aku memintanya untuk membukan kado itu di rumah dan membukanya sendiri.
Tanpa
sepengetahuanku dia telah membuka kado itu di tempat ini juga. Dia membuka tas
berisi sebuah buku bersampul kertas kado bermotif hati itu. Dia membaca bait
demi bait dari tulisan yang ada didalam buku itu.
Aku
memang sengaja menulisnya, sejarah perjalanan kami selama ini. Ada hal yang
ingin aku ungkapkan disana. Ini memang moment
yang tepat. Di tempat ini kita dipertemukan dan dipersatukan dan ditempat
ini pula kami harus mengakhiri segalanya.
Aku
harap dia mengerti maksudku.
“
Lalu, apa yang harus aku lakukan?”.
Ada
sebuah penyesalan di raut wajahnya. Terlihat sebuah beban yang begitu berat
tergambar dalam dirinya sambil sesekali memandangku seperti ada sesuatu yang
ingin ia pastikan dariku.
“Apa
aku harus mutusin dia?”. Sambungnya pendek.
Aku
melempar senyum pada laki – laki bertubuh tinggi itu.
“Tidak.
Aku memberikanmu itu bukan untuk memisahkan kalian dan bukan untuk memintamu
kembali padaku”. Jelasku padanya.
“Iya
aku sudah membaca semuanya, semua sudah kamu ungkapkan disana”. Dia menganggukkan
kepalanya.
Arian
nama laki – laki yang berhasil menarik hatiku selama dua tahun ini. Dia
mengajakku duduk, bukan karena lelah berdiri tetapi lebih karena mati gaya
dalam situasi seperti ini. Selama ini kita memang hampir tidak pernah terjebak
dalam suasana kalut dan menegangkan seperti ini. Akupun mengikuti ajaknnya.
“Dita…”.
Dia memanggil namaku pelan setelah lama kita saling diam dalam kekakuan bibir
kami untuk sekedar mengucapkan sepatah dua patah kata.
“Ya..”.
jawabku singkat.
Rasanya
pikiran ini juga begitu keras berpikir menyusun kata – kata yang harus
diucapkan. Padahal aku sudah menyiapkan semuanya jauh – jauh hari karena aku yakin
dia akan mengajakku membicarakan ini dan kami akan terjebak dalam situasi yang
sulit ini. Aku sudah menyiapkan jauh – jauh hari tentang bagaimana harus
menghadapinya dalam situasi seperti ini, tentang apa saja yang akan kukatakan
padanya untuk memperjelas segala maksudku dan akupun sudah mempersiapkan mental
untuk menerima segala apapun keputusan yang akan kami ambil meski dalam keputusan
terburuk sekalipun. Namun semua hilang saat tubuhku harus berhadapan dengannya.
Situasi seperti ini merusak segala persiapan yang telah aku lakukan.
Arian
menggenggam telapak tanganku kuat – kuat. Tangannya begitu dingin menjalar ke
telapak tanganku.
Aku
memandangnya lekat – lekat. Terlihat matanya mulai memerah, ada rintik kecil
dibalik kacamata minusnya. Aku menghindarkan diri dari pandangannya karena
takut air mataku jatuh melihat matanya yang mulai berkaca – kaca.
“Aku
sayang kamu Dita”
Dia
memulai pembicaraan kami lagi setelah aku lama diam tak mampu menggerakkan
bibirku barang sebentar saja.
“Aku
tau”.
Aku
berusaha melempar senyum dalam kesakitan batin yang dalam.
“Tapi
sekarang sudah bukan saatnya”. Sambungku.
Dia
memang selalu begitu, hanya ketika dalam keadaan terdesak seperti ini saja dia
mengatakan rasa sayangnya, aku tau dia tak pernah tega melihat aku menangis
ataupun terlihat bersedih meski terkadang dia tidak memahami bahwa kebanyakan
tangisku disebabkan karena Dia. Aku paham hal ini menimbulkan sebuah
pertanyaan. Mengapa rasa cintaku begitu besar kuberikan pada orang yang setia
membuatku menangis.
Cinta
yang tulus tidak membutuhkan sedikitpun alasan untuk kuberikan. Semua mengalir
begitu saja tak ada yang memaksakan. Tidak memilah status sosial orang
tersebut. Cinta tetap saja tentang rasa. Rasa yang tak pernah kita tau dimana
dia akan singgah. Yang pasti rasa itu akan singgah didalam hati pilihan Tuhan.
Bukankah rasa kasih itu hadirnya karena Tuhan yang menganugerahkan dan Tuhan yang
memilihkan. Kita tak pernah tau akan takdir Tuhan yang begitu luar bisa untuk
mempertemukan sepasang anak manusia untuk saling jatuh cinta.
Aku
rasa dia mulai mengerti dengan maksudku. Aku dan dia bersama janji – janji yang
kami utarakan satu sama lain. Aku berusaha memahami cintanya pada Nasya,
perempuan yang tak jauh dari kehidupanku bahkan sebenarnya takdir sudah mempertemukan
kami sejak kami baru dilahirkan. Nasya adalah tetanggaku ketika kami masih
menjadi bayi putih tak mengenal dunia, hanya saja kami tak pernah saling
mengenal sebelumnya karena ketika masih bayi aku ikut tinggal bersama dengan
nenekku di luar kota dan kemudian pindah ke rumah yang aku tinggali sekarang
ini bersama dengan orang tua dan saudara – saudaraku.
Akupun melihat bagaimana Dia berusaha memahami rasa cintaku padanya dan
bagaimana dia membalas rasa cintaku. Aku tak pernah memaksakan apapun. Apapun
tentang hubungan kami. Aku mengikuti alur cerita yang menjadi inginnya. Aku tak
ingin ia menyakiti Nasya seperti yang pernah ia lakukan padaku.
“Tapi
kita tetep berteman kan Dit?”.
Arian
seakan tak ingin kehilanganku sepenuhnya. Aku berusaha menanggapinya dengan
positif.
“Iya
pasti, tapi semua perlu proses”.
Dia
tersenyum mendengar jawabanku.
Aku
berusaha mencairkan suasana dengan obrolan ringan seputar cerita – cerita lucu
yang pernah kita lalui. Diapun berusaha mengalihkan pembicaraan dengan membuka
pembicaraan tentang ujian yang akan menyambut kita tahun depan bersama dengan
cita – cita kami setelah lulus dari tempat ini. Kamipun bersalaman tanda damai
dalam keadaan sulit ini.
Setiap
masa memiliki sejarahnya dan setiap hati memiliki pilihannya.
Seperti
sejarahku bersamanya yang slalu ada dalam kenangan dan pilihan hati kami untuk
menjalani hidup masing – masing. Singkat saja kesimpulannya. Mungkin kami belum
berjodoh.
Aku
percaya takdir Tuhan tak pernah keliru. Perpisahan ini adalah jalan terbaik
pilihan Tuhan yang ditakdirkan pada kami. Aku dan dia layak mendapatkan
pendamping ideal pilihan kami masing – masing. Tentunya yang terbaik untuk
kami.
“Ah
apa yang aku pikirkan”. Gerutuku sambil mengusap air mata yang berhasil menetes
riang diwajahku.
Waktu
menyadarkanku bahwa aku sudah terlalu lama ditempat ini bersama apa yang aku
pikirkan sejak tadi. Aku harus segera pulang dan kembali menyiapkan diri untuk
ujian esok pagi. Akupun mengambil barang yang kupilih untuk kado ulang tahun di
Unit Kegiatan Mahasiswa yang harus kubawa akhir minggu ini dan membayarnya di
kasir.
Aku
mulai melangkahkan kakiku keluar dari toko dan pusat perbelanjaan ini dengan
perasaan bercampur – campur. Ada kegetiran dalam diriku mengingat kotak kado
yang kutemui tadi. Ada seberkas kenangan darinya. Dulu aku membeli kertas kado
itu juga di tempat ini, tempat yang sama dengan apa yang aku jumpai saat ini.
Kotak kado itu berhasil menggugah setiap kenangan yang telah terkubur dalam di
hidupku.
Sebentar
lagi tahun akan berganti begitupula denganmu yang akan mengganti batang usiamu,
aku yakin pasti kini kau semakin dewasa, aku yakin kamu semakin menjadi laki –
laki yang baik, bukan hanya baik untukmu tetapi juga baik untuk orang
disekelilingmu. Aku yakin kamu masih lurus dengan segala cita – citamu yang
pernah kita angankan bersama. Namun, tak ada sedikitpun pikiran untuk memberimu
sedikit ucapan selamat hanya doa dari jauh yang kutujukan untukmu. Ini adalah
hari ketiga ditahun ini untuk yang kedua kalinya kita tak lagi bersama. Aku
masih mengingat janjiku yang sedang berusaha aku tepati. Selama ini aku memang
sengaja mendelete-mu dari kontak
BBMku, menghapus nomor teleponmu dari kontak ponselku, tidak menerima
permintaan linemu, menghapus pertemanan di facebook
dan twitterku.
Bukan
karena benci. Aku tak pernah sedikitpun membenci Arian. Harus dipahami
menghilangkan bayangannya sungguh sangat tidak mudah apalagi jika kita masih
bertemu meski hanya sekedar di dunia maya. Namun sesuatu yang tidak nyata itu
justru membuat semakin tergugahnya kenangan – kenangan masa lalu. Meski tak
selalu masa lalu itu buruk, ada sesuatu yang memang harus dipahami bahwa tak
semua yang kita pikirkan sejalan dengan kenyataan meski semua telah tersusun
dan tergambar dengan rapi, Tuhan selalu memiliki jalannya yang jauh lebih
indah.
Kamu
memang bukan milikku. Sungguh aku sudah tak mengharapkanmu untuk kembali. Tapi kenangan ini adalah milikku, yang menjadi
cerita dalam hidupku dan berhak untuk kukenang kapanpun dan dimanapun hingga
akhir masaku.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar