Easter Dress

Minggu, 28 Oktober 2018

Culture Vs Modernisasi

      Indonesia memiliki banyak sekali budaya yang menjadi peninggalan dari nenek moyang. Sudah menjadi sebuah konsekuensi jika kita tinggal di negeri yang kaya akan budaya ini maka kita harus mengikuti berbagai macam tradisi yang telah berkembang beratus ratus tahun lamanya. Merubah sesuatu yang telah tumbuh dan berkelmbang di masyarakat sungguh tidaklah mudah, sebab akarnya begitu kuat dan tidak mudah untuk dicabut.
      Berbicara culture di era saat ini tidak terlepas dari modernisasi atau mengikuti perkembangan zaman yang saat ini memasuki era modern, segalanya serba cepat dan mudah. Bagi yang tidak bisa mengikuti maka akan tertinggal. Saat berbicara modernisasi seringkali yang muncul di benak masyarakat adalah sebuah hal yang negatif, akulturasi budaya barat yang tidak sesuai dengan kita bangsa timur yang telah meneladani adat ketimuran. Padahal modernisasi bukan hanya soal budaya barat yang memiliki makna negatif. Apa yang kita nikmati saat ini seperti ilmu dan teknologi adalah bagian dari modernisasi. Setelah menikmati perkembangan zaman ini, siapa yang ingin kembali ke masa lalu dengan keterbatasan ilmu dan teknologi? Saya rasa tidak ada, kita terlanjur nyaman dengan apa yang berkembang saat ini.
       Jadi, untuk dapat selalu menikmati modernisasi dengan positif kita harus selalu open mind dan berfikir kritis, tidak semua modernisasi adalah buruk. Bahkan bukan hanya modernisasi yang harus banyak dikritisi pun dengan budaya yang berkembang. Saat kita sebagai generasi muda berhadapan dengan mereka yang telah berusia senja dan berbalut tebalnya pengalaman,  berbicara tentang budaya maka kita lah yang harus selalu mengikuti apa yang telah menjadi keyakinan mereka. Saat kita menentang, maka mereka akan memberikan berbagai macam alasan bahwa kita dibesarkan dari sebuah budaya. Kita dapat tumbuh dan berkembang dari sebuah budaya dan nyatanya semua baik-baik saja. Sulit memang ketika berhadapan dengan hal semacam ini.
        Dalam hal ini sungguh tidak bermaksud untuk mematahkan budaya yang sudah menjadi ciri khas dan kekayaan bangsa, namun disini saya hanya ingin sedikit sharing tentang budaya yang patut dipertahankan dan budaya yang sepatutnya mengikuti perkembangan zaman. Jangan sampai budaya memenjarakan kita dalam ketertinggalan meskipun tidak semuanya seperti itu. Seperti contohnya sebuah ilmu yang kian lama kian berkembang, tentu saja kondisinya berbeda dengan masa lampau.
    Ketika kita telah berkesempatan menimba ilmu yang kian pesat berkembangnya ini tentu saja saat memperolehnya kita ingin menyampaikan dan menyebarkan yang sudah kita dapat, namun nyatanya sulit ketika berhadapan dengan masyarakat yang ditamengi oleh budaya masa lalu. Lalu untuk apa mereka menginginkan generasi muda belajar setinggi tingginya jika setelah kita meraihnya mereka tidak percaya dengan kita. Masih menggunakan dalil lama dan berlindung dari kata “dulu seperti ini dan baik – baik saja”.
        Bahkan katanya kita yang terlalu sok tau padahal baru belajar segitu saja, belum makan asam garamnya kehidupan.  Hal ini adalah tantangan besar, sebab kita tinggal ditempat dimana kita harus menghormati yang tua, tidak boleh membantah. Namun hal itu jangan sampai membuat kita patah semangat dalam menyampaikan kebaikan.
       Kita harus paham bahwa budaya ada yang harus dihargai, dijunjung tinggi dan dipertahankan namun ada juga budaya yang setelah kita menjadi manusia yang berkembang karena ilmu, budaya itu harus dikritisi bahkan ditinggalkan. Bukan bermaksud menyombongkan ilmu yang baru seujung kuku namun dalam agama islam kita diajarkan bahwa “sampaikan ilmu walau hanya satu ayat” (HR Bukhari). Sekecil apapun yang kita tau kita harus menyampaikan. Termasuk dalam hal merubah budaya yang sudah tidak sepatutnya dilakukan.
        Jika dikatakan dulu melakukan ini nyatanya baik baik saja. Perlu kita pahami bahwa dunia ini telah berubah, gaya hidup manusia telah berubah, pola pikir telah berubah bahkan alam pun juga berubah. Dulu polusi masih sedikit, saat ini polusi dimana mana, penyakit jauh lebih banyak. Apa kita mau tetap menjadi manusia jaman dulu, penyakit saja sudah bereplikasi apa iya kita masih mengikuti budaya lama saat penyakit masih segitu segitu saja?. Tentu saja kita tidak boleh kalah dari penyakit, kita harus berkembang dengan keilmuan yang juga semakin luas berkembang, bukan menutup diri dan berpatokan pada masa lalu. Sungguh masa lalu itu adalah pembelajaran namun bukan berarti kita menutup diri dengan peradaban. Itu adalah contoh ketika berbicara tentang ilmu kesehatan.
        Bukan hanya dalam bidang kesehatan yang dipengaruhi oleh budaya, masih banyak lagi bidang lainnya dalam kehidupan sehari-hari yang masih terkungkung budaya lama sehingga sulit berkembang. 
       Katanya generasi muda adalah penggerak perubahan menuju peradaban yang lebih baik, menjadikan negara semakin maju, bagaimana negara mau maju jika masyarakatnya yang belum bisa move on dari masa lalu dan menolak ilmu-ilmu baru yang sudah dapat dipastikan keabsahannya?.
    Tidak semua budaya buruk dan membuat kita tertinggal, masih banyak budaya sebagai warisan nenek moyang yang patut kita lestarikan hingga saat ini, yang bisa kita lakukan adalah pandai-pandai dalam memilah. Budaya mana yang masih patut kita ikuti dan budaya mana yang memang harus ditinggalkan.
         Kita hidup dengan aturan, ada aturan agama yang tidak akan berubah sekalipun zaman berubah yang dapat menjadi pegangan hidup manusia. Selain itu ada norma di masyarakat yang nilai-nilainya telah diyakini kebenarannya kemudian ilmu dan teknologi yang berkembang yang sepatutnya kita sebagai manusia yang dianugerahi akal pikiran mampu menerima dan mengikuti ilmu dan teknologi yang telah diakui kebenarannya.
       Jadi, hargai budaya yang memang tidak bertentangan dengan agama, norma, ilmu dan teknologi. Namun jangan ragu menyuarakan kebaikan jika memang budaya itu bertentangan dengan nilai agama, norma, ilmu dan teknologi. Sehingga cuture dan modernisasi dapat berjalan seirama tanpa menimbulkan perpecahan.
      Dan yang tak kalah penting, sampaikan kebenaran dengan cara yang baik dan sebijaksana mungkin agar mendapat penerimaan yang baik pula. Saling menghargai bukan berarti memaklumi sesuatu yang salah dan bertentangan.


Salam cinta dari  anak muda yang masih perlu banyak belajar 😊

Senin, 22 Oktober 2018

Dia Bukan Pelarian

Kukatakan bukan
Dia bukan pelarian
Dia cinta
Dia sesungguhnya cinta

Tak pernah surut
Selalu berpendar

Dia ada
Kapan saja ada
Dan selalu ada
Tak pernah tiada

Dia menemani
Selalu disini
Tak pernah pergi
Tak biarkan ku sendiri

Aku yang datang dan pergi
Datang saat bersedih
Pergi saat datang pelangi
Dan selalu berharap Kau ampuni

Oh Sang Mahabaik
Kau peluk tanpa harus merintih
Kau dekap tanpa harus meratap
Aku makhluk yang tak tau adab

Tuntun aku
Kembali padaMu
Tanpa pergi
Tanpa lari... lagi.

Ku katakan
Dia bukan pelarian

Selasa, 19 Juni 2018

Paradigma Istri Soleha dan Memasak


Sejak kecil aku tinggal di keluarga yang memandang bahwa perempuan itu harus mengerti tentang dapur sekalipun dia itu adalah orang berpendidikan. Baginya pekerjaan dapur adalah benar-benar kewajiban bagi seorang perempuan dan tidak boleh ditinggalkan. Ketika usia SD aku tinggal dengan nenekku beliau sudah memperkenalkanku dengan dunia dapur, meski pada akhirnya aku lebih suka bermain dengan teman sebayaku. Pada saat itu ada satu pesan nenekku yang paling aku ingat karena beliau selalu mengulang-ulang pesan itu, katanya “nanti kalau tinggal sama orang tuamu dan kamu tidak bisa masak dikira mbahnya tidak pernah mengajari”. Usia yang terlalu dini untuk menghiraukan pesan itu, tapi rekaman memori anak usia SD begitu baik dan membekas.
Hingga pada suatu hari saat aku duduk dibangku SMP aku membaca sebuah artikel tentang “istri soleha”, didalam artikel itu dituliskan katanya istri soleha itu bukan yang bisa membedakan mana jahe dan mana kunyit (dalam kata lain bukan yang bisa memasak) tapi istri soleha itu adalah dia yang bisa membedakan mana yang halal dan mana yang haram untuk kemudian memastikan bahwa makanan yang diberikan kepada keluarganya adalah makanan yang halal dan toyib. Seketika itu aku merasa cocok sekali dengan artikel itu dan tertanam dalam pikiranku. Sekian lama aku berpegang teguh pada prinsip itu, prinsip yang dipengaruhi oleh artikel itu bahwa perempuan tidak harus bisa memasak yang penting mengerti mana yang halal dan haram serta patut untuk diberikan pada keluarganya.
Well, pada suatu hari aku sudah tinggal dengan orang tuaku, saat itu aku duduk dibangku SMP. Ibuku pun memiliki prinsip yang sama dengan nenekku bahwa perempuan itu harus mengerti dunia dapur. Ibuku adalah seorang wanita karir yang hampir setiap hari bekerja di kantor, setiap pagi sebelum berangkat bekerja beliau selalu menyempatkan untuk memasak untuk kami sekeluarga, apalagi di hari libur akan ada surga makanan di rumah. Setiap libur sekolah ibuku selalu menuntutku untuk membantunya memasak. Kadang memasak itu memang menyenangkan tapi kadang juga membosankan bagi anak usia SMP sepertiku apalagi saat itu masih tertanam dalam pikiranku bahwa istri soleha itu yang bisa membedakan yang halal dan haram tidak harus bisa memasak.  
Aku memiliki orientasi yang tinggi terhadap pendidikan, bagiku urusan sekolah itu nomor satu, yang lain menyusul setelah urusan sekolah selesai termasuk dalam hal urusan rumah. Aku ingat pada saat itu aku memancing amarah ibuku dan beliau mengatakan bahwa sekalipun perempuan itu pintar dalam hal akademik tapi juga harus pintar dalam hal mengurus rumah. Baginya hampir tiada artinya jika perempuan itu hanya pintar dalam hal akademik tapi tidak pandai dalam hal mengurus rumah yang salah satunya adalah memasak.
Saat aku duduk dibangku SMA, kegiatan di sekolah semakin banyak dan aku semakin sibuk dan jarang di rumah apalagi memikirkan tentang memasak hampir tidak terbersit dalam benakku, namun ketika aku di rumah ibuku selalu berusaha melibatkanku ketika memasak. Ketika itu pemikiranku sudah sedikit berubah, aku mau memasak saat memiliki waktu luang. Tapi, prinsip halal dan haram masih tertanam kuat dalam pikiranku. Hingga suatu hari saat aku dan ibuku sedang memasak bersama tiba-tiba ibuku bilang “Perempuan itu harus bisa memasak, besok-besok kalau punya mertua dan kamu tidak bisa memasak dikira ibunya tidak pernah mengajari”. Ah aku tertegun mendengar ibuku mengatakan itu, kata-kata itu pernah diucapkan nenekku dulu hanya sedikit berbeda konteks. Ternyata nenekku dan ibuku memiliki pemikiran yang sama dan aku yakin mereka tidak janjian untuk mengatakan itu padaku. Aku lupa bilang, mengapa nenekku dan ibuku selalu berpesan seperti itu padaku, menurut pandanganku karena kebetulan baik aku maupun ibuku adalah satu-satunya anak perempuan didalam keluarga jadi tidak ada lagi yang dituntut untuk bisa memasak selain kami hehehe.
Sampai aku duduk dibangku kuliah aku belum memiliki minat yang tinggi terhadap memasak, baru sekedar mau jika memiliki waktu luang. Aku belum memprioritaskan memasak dalam keahlian yang harus aku miliki. Memasak sih bisa tapi rasa masakannya masih begitu-begitu saja, menakar bumbu pun masih belum bisa mengira-ngira bahkan terkadang lupa apa saja bumbunya karena memasak tidak menjadi rutinitas. Sampai saat ini prinsip halal dan haram masih menancap kuat dalam pikiranku, bagiku pengetahuan tentang hukum agama yang perlu di upgrade, urusan bisa masak atau tidak itu belakangan. Toh jaman sekarang anak seusiaku banyak yag tidak bisa memasak bahkan rasanya skill memasakku masih mendingan daripada kebanyakan teman sebayaku yang tidak pernah merambah dunia dapur. Mungkin pemikiran ini yang hingga sekarang membuat memasak tidak menjadi sebuah keutamaan.
Diakhir masa kuliah, aku sudah semakin jarang memasak tidak seperti dulu yang hampir setiap minggu selalu membantu ibuku memasak meskipun belum bisa untuk dilepaskan memasak sendiri. Rasanya memasak itu seperti quality time bersama ibuku karena kesibukan yang saat ini mendera. Sampai pada suatu hari saat kami sedang memasak bersama, ibuku banyak bercerita dan tidak biasanya ibuku seperti itu. Ibuku banyak menasihatiku tentang pernikahan dan mengurus rumah tangga salah satunya tentang memuliakan dan menyenangkan hati mertua dengan cara menengok dan memasakkan makanan untuk mertua. Kata-kata ibuku saat itu benar-benar menggetarkan hati dan membuatku instrospeksi diri.
Di usiaku saat ini banyak cerita-cerita tentang pernikahan yang aku dengar dari orang-orang terdekat, meskipun aku belum menikah tapi aku banyak belajar dari cerita-cerita yang aku dengar. Dari berbagai cerita yang aku dapat ternyata mengurus rumah tangga itu tidak semudah yang dibayangkan dan terkadang permasalahan kecil bisa menjadi besar. Persoalan makananpun bisa menjadi pemicu pertengkaran. Apalagi mendengar cerita menantu dan mertua yang tidak akur hanya karena persoalan memasak.
Dari pesan ibuku dan cerita-cerita orang-orang disekitarku, akupun berpikir bahwa memasakkan suami dan mertua itu bisa menyenangkan hatinya. Bukankan menyenagkan hati orang lain itu juga bagian dari ibadah. Ternyata membahagiakan keluarga sesederhana itu. Dan akhirnya aku menyadari bahwa istri soleha itu bukan hanya yang bisa membedakan mana yang halal dan mana yang haram untuk keluarganya tetapi menyenangkan hati keluarga yang salah satunya dengan memasak itu juga rentetan dari yang disebut seorang istri soleha.
Pendewasaan itu merupakan sebuah proses, pembelajaran bukan hanya didapatkan dari bangku sekolah namun pada hakikatnya sepanjang perjalanan hidup adalah belajar, tentang apapun itu.
Semoga Allah selalu memudahkan langkah kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Jangan dilihat siapa yang menulis tapi ambil hikmah dari isi tulisannya.

Sebab si penulis juga belum pandai memasak dan belum menjadi seorang istri apalagi istri yang soleha.