Easter Dress

Selasa, 19 Juni 2018

Paradigma Istri Soleha dan Memasak


Sejak kecil aku tinggal di keluarga yang memandang bahwa perempuan itu harus mengerti tentang dapur sekalipun dia itu adalah orang berpendidikan. Baginya pekerjaan dapur adalah benar-benar kewajiban bagi seorang perempuan dan tidak boleh ditinggalkan. Ketika usia SD aku tinggal dengan nenekku beliau sudah memperkenalkanku dengan dunia dapur, meski pada akhirnya aku lebih suka bermain dengan teman sebayaku. Pada saat itu ada satu pesan nenekku yang paling aku ingat karena beliau selalu mengulang-ulang pesan itu, katanya “nanti kalau tinggal sama orang tuamu dan kamu tidak bisa masak dikira mbahnya tidak pernah mengajari”. Usia yang terlalu dini untuk menghiraukan pesan itu, tapi rekaman memori anak usia SD begitu baik dan membekas.
Hingga pada suatu hari saat aku duduk dibangku SMP aku membaca sebuah artikel tentang “istri soleha”, didalam artikel itu dituliskan katanya istri soleha itu bukan yang bisa membedakan mana jahe dan mana kunyit (dalam kata lain bukan yang bisa memasak) tapi istri soleha itu adalah dia yang bisa membedakan mana yang halal dan mana yang haram untuk kemudian memastikan bahwa makanan yang diberikan kepada keluarganya adalah makanan yang halal dan toyib. Seketika itu aku merasa cocok sekali dengan artikel itu dan tertanam dalam pikiranku. Sekian lama aku berpegang teguh pada prinsip itu, prinsip yang dipengaruhi oleh artikel itu bahwa perempuan tidak harus bisa memasak yang penting mengerti mana yang halal dan haram serta patut untuk diberikan pada keluarganya.
Well, pada suatu hari aku sudah tinggal dengan orang tuaku, saat itu aku duduk dibangku SMP. Ibuku pun memiliki prinsip yang sama dengan nenekku bahwa perempuan itu harus mengerti dunia dapur. Ibuku adalah seorang wanita karir yang hampir setiap hari bekerja di kantor, setiap pagi sebelum berangkat bekerja beliau selalu menyempatkan untuk memasak untuk kami sekeluarga, apalagi di hari libur akan ada surga makanan di rumah. Setiap libur sekolah ibuku selalu menuntutku untuk membantunya memasak. Kadang memasak itu memang menyenangkan tapi kadang juga membosankan bagi anak usia SMP sepertiku apalagi saat itu masih tertanam dalam pikiranku bahwa istri soleha itu yang bisa membedakan yang halal dan haram tidak harus bisa memasak.  
Aku memiliki orientasi yang tinggi terhadap pendidikan, bagiku urusan sekolah itu nomor satu, yang lain menyusul setelah urusan sekolah selesai termasuk dalam hal urusan rumah. Aku ingat pada saat itu aku memancing amarah ibuku dan beliau mengatakan bahwa sekalipun perempuan itu pintar dalam hal akademik tapi juga harus pintar dalam hal mengurus rumah. Baginya hampir tiada artinya jika perempuan itu hanya pintar dalam hal akademik tapi tidak pandai dalam hal mengurus rumah yang salah satunya adalah memasak.
Saat aku duduk dibangku SMA, kegiatan di sekolah semakin banyak dan aku semakin sibuk dan jarang di rumah apalagi memikirkan tentang memasak hampir tidak terbersit dalam benakku, namun ketika aku di rumah ibuku selalu berusaha melibatkanku ketika memasak. Ketika itu pemikiranku sudah sedikit berubah, aku mau memasak saat memiliki waktu luang. Tapi, prinsip halal dan haram masih tertanam kuat dalam pikiranku. Hingga suatu hari saat aku dan ibuku sedang memasak bersama tiba-tiba ibuku bilang “Perempuan itu harus bisa memasak, besok-besok kalau punya mertua dan kamu tidak bisa memasak dikira ibunya tidak pernah mengajari”. Ah aku tertegun mendengar ibuku mengatakan itu, kata-kata itu pernah diucapkan nenekku dulu hanya sedikit berbeda konteks. Ternyata nenekku dan ibuku memiliki pemikiran yang sama dan aku yakin mereka tidak janjian untuk mengatakan itu padaku. Aku lupa bilang, mengapa nenekku dan ibuku selalu berpesan seperti itu padaku, menurut pandanganku karena kebetulan baik aku maupun ibuku adalah satu-satunya anak perempuan didalam keluarga jadi tidak ada lagi yang dituntut untuk bisa memasak selain kami hehehe.
Sampai aku duduk dibangku kuliah aku belum memiliki minat yang tinggi terhadap memasak, baru sekedar mau jika memiliki waktu luang. Aku belum memprioritaskan memasak dalam keahlian yang harus aku miliki. Memasak sih bisa tapi rasa masakannya masih begitu-begitu saja, menakar bumbu pun masih belum bisa mengira-ngira bahkan terkadang lupa apa saja bumbunya karena memasak tidak menjadi rutinitas. Sampai saat ini prinsip halal dan haram masih menancap kuat dalam pikiranku, bagiku pengetahuan tentang hukum agama yang perlu di upgrade, urusan bisa masak atau tidak itu belakangan. Toh jaman sekarang anak seusiaku banyak yag tidak bisa memasak bahkan rasanya skill memasakku masih mendingan daripada kebanyakan teman sebayaku yang tidak pernah merambah dunia dapur. Mungkin pemikiran ini yang hingga sekarang membuat memasak tidak menjadi sebuah keutamaan.
Diakhir masa kuliah, aku sudah semakin jarang memasak tidak seperti dulu yang hampir setiap minggu selalu membantu ibuku memasak meskipun belum bisa untuk dilepaskan memasak sendiri. Rasanya memasak itu seperti quality time bersama ibuku karena kesibukan yang saat ini mendera. Sampai pada suatu hari saat kami sedang memasak bersama, ibuku banyak bercerita dan tidak biasanya ibuku seperti itu. Ibuku banyak menasihatiku tentang pernikahan dan mengurus rumah tangga salah satunya tentang memuliakan dan menyenangkan hati mertua dengan cara menengok dan memasakkan makanan untuk mertua. Kata-kata ibuku saat itu benar-benar menggetarkan hati dan membuatku instrospeksi diri.
Di usiaku saat ini banyak cerita-cerita tentang pernikahan yang aku dengar dari orang-orang terdekat, meskipun aku belum menikah tapi aku banyak belajar dari cerita-cerita yang aku dengar. Dari berbagai cerita yang aku dapat ternyata mengurus rumah tangga itu tidak semudah yang dibayangkan dan terkadang permasalahan kecil bisa menjadi besar. Persoalan makananpun bisa menjadi pemicu pertengkaran. Apalagi mendengar cerita menantu dan mertua yang tidak akur hanya karena persoalan memasak.
Dari pesan ibuku dan cerita-cerita orang-orang disekitarku, akupun berpikir bahwa memasakkan suami dan mertua itu bisa menyenangkan hatinya. Bukankan menyenagkan hati orang lain itu juga bagian dari ibadah. Ternyata membahagiakan keluarga sesederhana itu. Dan akhirnya aku menyadari bahwa istri soleha itu bukan hanya yang bisa membedakan mana yang halal dan mana yang haram untuk keluarganya tetapi menyenangkan hati keluarga yang salah satunya dengan memasak itu juga rentetan dari yang disebut seorang istri soleha.
Pendewasaan itu merupakan sebuah proses, pembelajaran bukan hanya didapatkan dari bangku sekolah namun pada hakikatnya sepanjang perjalanan hidup adalah belajar, tentang apapun itu.
Semoga Allah selalu memudahkan langkah kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Jangan dilihat siapa yang menulis tapi ambil hikmah dari isi tulisannya.

Sebab si penulis juga belum pandai memasak dan belum menjadi seorang istri apalagi istri yang soleha. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar