Sejak
kecil aku tinggal di keluarga yang memandang bahwa perempuan itu harus mengerti
tentang dapur sekalipun dia itu adalah orang berpendidikan. Baginya pekerjaan
dapur adalah benar-benar kewajiban bagi seorang perempuan dan tidak boleh
ditinggalkan. Ketika usia SD aku tinggal dengan nenekku beliau sudah
memperkenalkanku dengan dunia dapur, meski pada akhirnya aku lebih suka bermain
dengan teman sebayaku. Pada saat itu ada satu pesan nenekku yang paling aku
ingat karena beliau selalu mengulang-ulang pesan itu, katanya “nanti kalau
tinggal sama orang tuamu dan kamu tidak bisa masak dikira mbahnya tidak pernah mengajari”.
Usia yang terlalu dini untuk menghiraukan pesan itu, tapi rekaman memori anak
usia SD begitu baik dan membekas.
Hingga
pada suatu hari saat aku duduk dibangku SMP aku membaca sebuah artikel tentang “istri soleha”, didalam
artikel itu dituliskan katanya istri soleha itu bukan yang bisa membedakan mana
jahe dan mana kunyit (dalam kata lain bukan yang bisa memasak) tapi istri
soleha itu adalah dia yang bisa membedakan mana yang halal dan mana yang haram
untuk kemudian memastikan bahwa makanan yang diberikan kepada keluarganya
adalah makanan yang halal dan toyib. Seketika itu aku merasa cocok sekali
dengan artikel itu dan tertanam dalam pikiranku. Sekian lama aku berpegang
teguh pada prinsip itu, prinsip yang dipengaruhi oleh artikel itu bahwa
perempuan tidak harus bisa memasak yang penting mengerti mana yang halal dan
haram serta patut untuk diberikan pada keluarganya.
Well,
pada suatu hari aku sudah tinggal dengan orang tuaku, saat itu aku duduk
dibangku SMP. Ibuku pun memiliki prinsip yang sama dengan nenekku bahwa
perempuan itu harus mengerti dunia dapur. Ibuku adalah seorang wanita karir
yang hampir setiap hari bekerja di kantor, setiap pagi sebelum berangkat
bekerja beliau selalu menyempatkan untuk memasak untuk kami sekeluarga, apalagi
di hari libur akan ada surga makanan di rumah. Setiap libur sekolah ibuku
selalu menuntutku untuk membantunya memasak. Kadang memasak itu memang
menyenangkan tapi kadang juga membosankan bagi anak usia SMP sepertiku apalagi
saat itu masih tertanam dalam pikiranku bahwa istri soleha itu yang bisa
membedakan yang halal dan haram tidak harus bisa memasak.
Aku
memiliki orientasi yang tinggi terhadap pendidikan, bagiku urusan sekolah itu
nomor satu, yang lain menyusul setelah urusan sekolah selesai termasuk dalam
hal urusan rumah. Aku ingat pada saat itu aku memancing amarah ibuku dan beliau
mengatakan bahwa sekalipun perempuan itu pintar dalam hal akademik tapi juga
harus pintar dalam hal mengurus rumah. Baginya hampir tiada artinya jika
perempuan itu hanya pintar dalam hal akademik tapi tidak pandai dalam hal
mengurus rumah yang salah satunya adalah memasak.
Saat
aku duduk dibangku SMA, kegiatan di sekolah semakin banyak dan aku semakin
sibuk dan jarang di rumah apalagi memikirkan tentang memasak hampir tidak terbersit
dalam benakku, namun ketika aku di rumah ibuku selalu berusaha melibatkanku
ketika memasak. Ketika itu pemikiranku sudah sedikit berubah, aku mau memasak
saat memiliki waktu luang. Tapi, prinsip halal dan haram masih tertanam kuat
dalam pikiranku. Hingga suatu hari saat aku dan ibuku sedang memasak bersama
tiba-tiba ibuku bilang “Perempuan itu harus bisa memasak, besok-besok kalau
punya mertua dan kamu tidak bisa memasak dikira ibunya tidak pernah mengajari”.
Ah aku tertegun mendengar ibuku mengatakan itu, kata-kata itu pernah diucapkan
nenekku dulu hanya sedikit berbeda konteks. Ternyata nenekku dan ibuku memiliki
pemikiran yang sama dan aku yakin mereka tidak janjian untuk mengatakan itu
padaku. Aku lupa bilang, mengapa nenekku dan ibuku selalu berpesan seperti itu
padaku, menurut pandanganku karena kebetulan baik aku maupun ibuku adalah
satu-satunya anak perempuan didalam keluarga jadi tidak ada lagi yang dituntut
untuk bisa memasak selain kami hehehe.
Sampai
aku duduk dibangku kuliah aku belum memiliki minat yang tinggi terhadap
memasak, baru sekedar mau jika memiliki waktu luang. Aku belum memprioritaskan
memasak dalam keahlian yang harus aku miliki. Memasak sih bisa tapi rasa masakannya
masih begitu-begitu saja, menakar bumbu pun masih belum bisa mengira-ngira
bahkan terkadang lupa apa saja bumbunya karena memasak tidak menjadi rutinitas.
Sampai saat ini prinsip halal dan haram masih menancap kuat dalam pikiranku,
bagiku pengetahuan tentang hukum agama yang perlu di upgrade, urusan bisa masak atau tidak itu belakangan. Toh jaman sekarang
anak seusiaku banyak yag tidak bisa memasak bahkan rasanya skill memasakku masih mendingan daripada kebanyakan teman sebayaku
yang tidak pernah merambah dunia dapur. Mungkin pemikiran ini yang hingga
sekarang membuat memasak tidak menjadi sebuah keutamaan.
Diakhir
masa kuliah, aku sudah semakin jarang memasak tidak seperti dulu yang hampir
setiap minggu selalu membantu ibuku memasak meskipun belum bisa untuk
dilepaskan memasak sendiri. Rasanya memasak itu seperti quality time bersama ibuku karena kesibukan yang saat ini mendera. Sampai
pada suatu hari saat kami sedang memasak bersama, ibuku banyak bercerita dan
tidak biasanya ibuku seperti itu. Ibuku banyak menasihatiku tentang pernikahan
dan mengurus rumah tangga salah satunya tentang memuliakan dan menyenangkan
hati mertua dengan cara menengok dan memasakkan makanan untuk mertua. Kata-kata
ibuku saat itu benar-benar menggetarkan hati dan membuatku instrospeksi diri.
Di
usiaku saat ini banyak cerita-cerita tentang pernikahan yang aku dengar dari
orang-orang terdekat, meskipun aku belum menikah tapi aku banyak belajar dari
cerita-cerita yang aku dengar. Dari berbagai cerita yang aku dapat ternyata mengurus
rumah tangga itu tidak semudah yang dibayangkan dan terkadang permasalahan
kecil bisa menjadi besar. Persoalan makananpun bisa menjadi pemicu
pertengkaran. Apalagi mendengar cerita menantu dan mertua yang tidak akur hanya
karena persoalan memasak.
Dari pesan ibuku dan cerita-cerita orang-orang disekitarku, akupun berpikir
bahwa memasakkan suami dan mertua itu bisa menyenangkan hatinya. Bukankan menyenagkan
hati orang lain itu juga bagian dari ibadah. Ternyata membahagiakan keluarga
sesederhana itu. Dan akhirnya aku menyadari bahwa istri soleha itu bukan hanya
yang bisa membedakan mana yang halal dan mana yang haram untuk keluarganya
tetapi menyenangkan hati keluarga yang salah satunya dengan memasak itu juga
rentetan dari yang disebut seorang istri soleha.
Pendewasaan
itu merupakan sebuah proses, pembelajaran bukan hanya didapatkan dari bangku
sekolah namun pada hakikatnya sepanjang perjalanan hidup adalah belajar,
tentang apapun itu.
Semoga
Allah selalu memudahkan langkah kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Jangan
dilihat siapa yang menulis tapi ambil hikmah dari isi tulisannya.
Sebab
si penulis juga belum pandai memasak dan belum menjadi seorang istri apalagi
istri yang soleha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar